Pernah dengar ada Galungan Naramangsa? . Hari raya Galungan yg merupakan hari baik sbg hari kemenangan kebaikan atas kejahatan dirayakan setiap 210 hari sekali tepatnya Buda Kliwon Dungulan. Dalam perhitungan kalender Bali, biasanya Galungan jatuh pada bulan kelima atau keenam dan bulan keduabelas atau kesatu. Dalam ilmu wariga (ilmu ttg hari baik atau buruk) disebutkan: “Jika Galungan jatuh pada bulan ketujuh atau kesembilan, dimana bulan ketujuh dan sembilan adalah waktu berkuasanya para bhuta (raksasa), Galungan disebut Galungan Naramangsa sebagai pertanda buruk buat alam semesta dan manusia (Nara=manusia, Mangsa=Korban).” Ini diakibatkan karena sesajen persembahan Galungan di”makan” oleh para bhuta/raksasa sehingga kelompok ini memiliki kekuatan yg luar biasa untuk menguasai alam. Kekuatan yg dimiliki oleh para bhuta ini tidak dipakai utk kebaikan tapi untuk kejahatan. Dominanisasi bhuta dipercayai membawa petaka bagi manusia, karena manusia adalah “makanan” yg dicarinya alias mencari manusia sbg korbannya. Mereka mengacaukan kekuatan alam terutama siklus-siklus kehidupan yg normal sehingga terjadi kelaparan, bencana alam, banjir, dan hal-hal lain yg memakan korban jiwa manusia secara tidak wajar. Bulan mestinya hujan disusupi bulan kering begitu sebaliknya, sehingga hujan tidak turun-turun, akibatnya padi tidak menghasilkan buah/poso, tanaman buah yg baru tumbuh bakal buah-nya dan tiba-tiba kena hujan akan rontok, mikroorganisme yg menyuburkan tanah mati kepanasan, dan hewan-hewan jadi bingung dalam melaksanakan tugasnya. Mereka juga merasuki jiwa manusia yg labil untuk melakukan hal-hal diluar kebiasaannya seperti membunuh anggota keluarganya sendiri, membunuh orang dgn alasan yg tidak jelas, bahkan sampai melakukan tindakan bunuh diri.
Siklus Galungan Naramangsa terjadi setiap 36 tahun, dan tahun kemaren jatuh saat perayaan Galungan bulan April 2005. Banyak kejadian mengerikan melanda Indonesia setelah periode itu. Kasus Bom Bali II Oktober 2005 yg memakan korban jiwa 27 orang. Bencana gempa bumi yg tidak pernah berhenti dari ujung barat sampai timur Indonesia. Lihat Gempa Yogya yg meminta korban jiwa ribuan orang dan meluluh-lantakan rumah dan bangunan. Gempa di Sumatra Barat juga memakan korban jiwa. Gunung meletus terjadi dimana-mana, spt meletusnya Gunung Merapi yg juga memakan korban jiwa. Tsunami memporak-porandakan Pantai Pengandaran Jawa Barat juga meminta korban manusia. Angin puting beliung menyapu Jawa. Tanah longsor terjadi di Jawa, NTT sampai Sumatra. Banjir di Jakarta juga meminta korban jiwa. Belum lagi kejadian yg memakan ribuan nyawa manusia dalam kasus tenggelamnya KM Senopati, terbakarnya KM Levina, kecelakaan Adam Air di Sulawesi, Garuda di Yogya, sampai kecelakaan kereta api yg tidak pernah berhenti. Coba lihat tayangan di TV atau berita koran, kasus bunuh diri semakin meningkat. Kekerasan dalam rumah tangga semakin gila. Salah satu pengaruh dari Galungan Naramangsa yg sangat besar adalah Lumpur Panas di Sidoarjo. Sudah ada korban jiwa melayang. Nantinya akan semakin parah, penduduk sekitar luberan lumpur sekarang masih sabar dan hanya demo saja menuntut hak kehidupannya. Lama-lama akan terjadi tindakan anarkis oleh mereka karena kesadarannya sudah hilang akibat tekanan hidup yg tidak mampu mereka kuasai. Jangan melihat dari sisi Lapindo atau pemerintah yg tidak mampu membayar tuntutan penduduk sebagai sebab utama, tapi munculnya lumpur panas-lah yg menjadi sebab utama. Kalau tidak ada lumpur panas kan tidak mungkin penduduk akan menderita seperti itu.
Semuanya adalah bukti bagaimana parahnya kekuatan bhuta di Galungan Naramangsa. Hal yg mesti dilakukan dalam 3x perayaan Galungan setelah Naramangsa, umat Hindu wajib melakukan guru piduka yaitu ritual persembahan hewan sbg kurban suci untuk menetralisir kekuatan bhuta, sehingga manusia terhindar dari keganasan alam yg sedang di-“setir” oleh bhuta. Sejatinya dalam diri manusia itu-lah unsur bhuta dan unsur Tuhan berada. Manusia harus meminimalisir kekuatan bhuta dalam dirinya dengan cara kembali menyerahkan dirinya secara pasrah kepada Tuhan dan menjalankan semua perintah-Nya. Batasi pikiran yg menguasai ego untuk mencapai kesempurnaan, karena manusia diciptakan tidak ada yg sempurna. Jadikan unsur Tuhan dalam diri buat mengalahkan kekuatan bhuta ini. Tulisan saya ini hanyalah sebuah tafsir cara pandang dari sisi yg berbeda. Sudah banyak para ahli yg menyampaikan pendapat ilmiahnya dan melakukan tindakan-tindakan berdasarkan science, toh tetap tidak bisa menghentikan bencana ini kan? Lumpur panas Sidoarjo…sudah berapa teori science diterapkan, tetap saja menyemburkan?. Mudah-mudahan bermanfaat.
No comments:
Post a Comment